Rabu, 06 November 2013

Pembahasan Soal Gerak Lurus Kelas X

Misi Kepler NASA: Tiga Planet Berukuran Super-Bumi Ditemukan Dalam Zona Layak Huni


 
"Penemuan planet-planet berbatu di zona layak huni itu membawa kita sedikit lebih dekat untuk menemukan tempat seperti rumah. Ini hanya masalah waktu sebelum kita mengetahui apakah galaksi adalah rumah bagi banyak planet seperti Bumi, ataukah kita memang langka."

Misi Kepler NASA telah menemukan dua sistem planet yang menjadi tempat bagi tiga planet berukuran super-Bumi dalam “zona layak huni”, zona di mana kisaran jaraknya dari bintang memungkinkan planet yang mengorbit berpeluang menyimpan zat cair.
Sistem Kepler-62 terdiri dari lima planet, yakni 62b, 62c, 62d, 62e dan 62f. Sedangkan sistem Kepler-69 hanya terdiri dari dua planet: 69b dan 69c. Tiga di antaranya, kepler-62e, 62f dan 69c, merupakan planet berukuran super-Bumi.
Dua planet super-Bumi ditemukan di seputar bintang yang lebih kecil dan lebih dingin dari matahari. Kepler-62f hanya berukuran 40 persen lebih besar dari Bumi, menjadikannya sebagai planet ekstrasurya yang ukurannya paling dekat dengan planet kita dalam zona layak huni bintang lain. Kepler-62f cenderung memiliki komposisi yang berbatu. Kepler-62e, yang mengorbit di tepi bagian dalam zona layak huni, berukuran sekitar 60 persen lebih besar dari Bumi.
Ukuran relatif semua planet zona layak huni yang baru ditemukan dengan didampingkan dengan Bumi. Dari kiri ke kanan: Kepler-22b, Kepler-69c, Kepler-62e, Kepler-62f dan Bumi (kecuali Bumi, gambar ini didasarkan ilustrasi artistik). (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Ukuran relatif semua planet zona layak huni yang baru ditemukan dengan didampingkan dengan Bumi. Dari kiri ke kanan: Kepler-22b, Kepler-69c, Kepler-62e, Kepler-62f dan Bumi (kecuali Bumi, gambar ini didasarkan ilustrasi artistik). (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Planet ketiga, Kepler-69c, berukuran 70 persen lebih besar dari Bumi, mengorbit dalam zona layak huni di seputar bintang yang mirip dengan matahari kita. Para astronom tidak terlalu yakin mengenai komposisi Kepler-69c, namun dari orbitnya yang memakan waktu 242 hari, planet itu serupa dengan planet tetangga kita, Venus.
Para ilmuwan belum mengetahui apakah ada kehidupan di planet-planet yang baru ditemukan itu, namun temuan mereka ini memberi sinyal bahwa kita sudah selangkah lebih dekat dalam menemukan dunia yang mirip dengan Bumi di seputar bintang seperti matahari kita.
“Pesawat ruang angkasa Kepler sudah pasti berubah menjadi bintang rock-nya dunia sains,” ujar John Grunsfeld, administrator Science Mission Directorate di Markas NASA di Washington, “Penemuan planet-planet berbatu di zona layak huni itu membawa kita sedikit lebih dekat untuk menemukan tempat seperti rumah. Ini hanya masalah waktu sebelum kita mengetahui apakah galaksi adalah rumah bagi banyak planet seperti Bumi, ataukah kita memang langka.”
Diagram yang membandingkan planet-planet dalam tata surya kita dengan dua planet dalam sistem Kepler-69 yang berjarak sekitar 2.700 tahun cahaya dari Bumi. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Diagram yang membandingkan planet-planet dalam tata surya kita dengan dua planet dalam sistem Kepler-69 yang berjarak sekitar 2.700 tahun cahaya dari Bumi. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Diagram yang membandingkan planet-planet dalam tata surya kita dengan kelima planet dalam sistem Kepler-62 yang berjarak sekitar 1.200 tahun cahaya dari Bumi. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Diagram yang membandingkan planet-planet dalam tata surya kita dengan kelima planet dalam sistem Kepler-62 yang berjarak sekitar 1.200 tahun cahaya dari Bumi. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Teleskop ruang angkasa Kepler, yang secara simultan dan terus menerus mengukur kecerahan pada lebih dari 150.000 bintang, adalah misi dari NASA yang pertama kali mampu mendeteksi planet-planet seukuran Bumi di seputar bintang mirip matahari kita. Mengorbiti bintangnya setiap 122 hari, Kepler-62e menjadi planet zona layak huni pertama yang teridentifikasi. Kepler-62f, yang memiliki periode orbit selama 267 hari, selanjutnya ditemukan oleh Eric Agol, profesor astronomi di University of Washington, salah satu bagian yang terlibat dalam studi ini.
Ukuran planet Kepler-62f kini sudah berhasil ditemukan, namun massa dan komposisinya belum diketahui. Meski demikian, berdasarkan studi-studi sebelumnya yang menyoroti eksoplanet berukuran serupa, para ilmuwan dapat memperkirakan massanya dengan metode asosiasi.
“Deteksi dan konfirmasi planet sangat membutuhkan upaya kolaboratif bakat dan sumber daya, serta menuntut keahlian dari seluruh komunitas ilmiah untuk bisa mewujudkan hasil-hasil yang luar biasa ini,” tutur William Borucki, kepala peneliti Kepler di Ames Research Center NASA di Moffett Field, California, dan memimpin penulisan makalah untuk studi sistem Kepler-62, “Kepler telah membawa kebangkitan dalam penemuan astronomi dan kami membuat kemajuan yang sangat baik menuju ke arah penentuan apakah planet yang mirip planet kita ini adalah pengecualian ataukah mengikuti aturan.”
Gambar Kepler-69c berdasarkan ilustrasi artistik, sebuah planet berukuran super-Bumi dalam zona layak huni di sebuah bintang yang mirip matahari kita. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Gambar Kepler-69c berdasarkan ilustrasi artistik, sebuah planet berukuran super-Bumi dalam zona layak huni di sebuah bintang yang mirip matahari kita. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Dua dunia zona layak huni di seputar Kepler-62 memiliki tiga planet pendamping lain yang berjarak lebih dekat dengan bintangnya; dua di antaranya berukuran lebih besar dari Bumi, sedangkan yang satunya seukuran Mars. Kepler-62b, Kepler-62c dan Kepler-62D, yang masing-masing mengorbit setiap lima, 12, dan 18 hari, membuat mereka menjadi sangat panas dan tidak ramah bagi kehidupan seperti yang kita kenal.
Lima planet dalam sistem Kepler-62 mengorbiti sebuah bintang yang diklasifikasikan sebagai kurcaci K2, berukuran hanya dua pertiga dari matahari dengan kecerahan yang hanya seperlima dari matahari. Di usia tujuh miliar tahun, bintang ini sedikit lebih tua dari matahari, berjarak sekitar 1.200 tahun cahaya dari Bumi dalam konstelasi Lyra.
Gambar Kepler-62e berdasarkan ilustrasi artistik, sebuah planet berukuran super-Bumi dalam zona layak huni di seputar bintang yang berukuran lebih kecil dan lebih dingin dari matahari kita, berlokasi sekitar 1.200 tahun cahaya dari Bumi. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Gambar Kepler-62e berdasarkan ilustrasi artistik, sebuah planet berukuran super-Bumi dalam zona layak huni di seputar bintang yang berukuran lebih kecil dan lebih dingin dari matahari kita, berlokasi sekitar 1.200 tahun cahaya dari Bumi. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Pendamping untuk planet Kepler-69c, yang dikenal sebagai Kepler-69b, berukuran dua kali dari ukuran Bumi dan melintasi orbitnya setiap 13 hari. Bintang yang menjadi induk bagi planet-planet dalam sistem Kepler-69 dimasukkan ke dalam kelas yang sama dengan matahari kita, yaitu tipe-G. Berukuran 93 persen dari ukuran matahari dengan kecerahan sebesar 80 persen dari matahari, terletak sekitar 2.700 tahun cahaya dari Bumi dalam konstelasi Cygnus.
“Kita hanya mengetahui satu bintang yang menjadi induk bagi sebuah planet berisi kehidupan, yaitu matahari. Menemukan sebuah planet dalam zona layak huni di seputar bintang seperti matahari kita merupakan tonggak penting dalam menemukan planet yang benar-benar mirip Bumi,” ujar Thomas Barclay, ilmuwan Kepler di Bay Area Environmental Research Institute di Sonoma, California, serta mengisi posisi sebagai penulis utama dalam penemuan sistem Kepler-69 yang dipublikasikan dalam Jurnal Astrophysical.
Gambar Kepler-62f berdasarkan ilustrasi artistik, sebuah planet berukuran super-Bumi dalam zona layak huni di seputar bintang induknya. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Gambar Kepler-62f berdasarkan ilustrasi artistik, sebuah planet berukuran super-Bumi dalam zona layak huni di seputar bintang induknya. (Kredit: Ames/JPL-Caltech NASA)
Ketika sebuah calon planet transit, atau melintas di depan bintang dari sudut pandang pesawat ruang angkasa, persentase cahaya dari bintang tersebut akan terhalang. Hasilnya adalah lengkung kecerahan cahaya bintang yang mengungkap ukuran planet transit, relatif terhadap bintangnya. Melalui metode transit ini, Kepler sudah berhasil mendeteksi 2.740 calon planet. Dengan mengerahkan berbagai teknik analisis, teleskop berbasis darat serta aset-aset ruang angkasa lainnya, 122 planet telah berhasil dikonfirmasi.
Di awal misi, teleskop Kepler menemukan planet-planet gas raksasa dalam orbit yang sangat dekat dengan bintang induknya. Dikenal sebagai “Jupiter-jupiter panas”, planet-planet tersebut lebih mudah dideteksi karena ukuran dan periode orbitnya yang sangat singkat. Bumi memakan waktu tiga tahun untuk menuntaskan tiga kali transit yang dibutuhkan agar bisa diakui sebagai calon planet. Dengan berlanjutnya pengamatan oleh Kepler, sinyal-sinyal transit dari planet zona layak huni seukuran Bumi yang mengorbiti bintang mirip matahari akan mulai muncul.
Untuk informasi lebih lanjut tentang misi Kepler, kunjungi: http://www.nasa.gov/kepler
Kredit: NASA
Jurnal: William J. Borucki, Eric Agol, Francois Fressin, Lisa Kaltenegger, Jason Rowe, Howard Isaacson, Debra Fischer, Natalie Batalha, Jack J. Lissauer, Geoffrey W. Marcy, Daniel Fabrycky, Jean-Michel Désert, Stephen T. Bryson, Thomas Barclay, Fabienne Bastien, Alan Boss, Erik Brugamyer, Lars A. Buchhave, Chris Burke, Douglas A. Caldwell, Josh Carter, David Charbonneau, Justin R. Crepp, Jørgen Christensen-Dalsgaard, Jessie L. Christiansen, David Ciardi, William D. Cochran, Edna DeVore, Laurance Doyle, Andrea K. Dupree, Michael Endl, Mark E. Everett, Eric B. Ford, Jonathan Fortney, Thomas N. Gautier III, John C. Geary, Alan Gould, Michael Haas, Christopher Henze, Andrew W. Howard, Steve B. Howell, Daniel Huber, Jon M. Jenkins, Hans Kjeldsen, Rea Kolbl, Jeffery Kolodziejczak, David W. Latham, Brian L. Lee, Eric Lopez, Fergal Mullally, Jerome A. Orosz, Andrej Prsa, Elisa V. Quintana, Dimitar Sasselov, Shawn Seader, Avi Shporer, Jason H. Steffen, Martin Still, Peter Tenenbaum, Susan E. Thompson, Guillermo Torres, Joseph D. Twicken, William F. Welsh, Joshua N. Winn. Kepler-62: A Five-Planet System with Planets of 1.4 and 1.6 Earth Radii in the Habitable Zone. Science, 2013; DOI: 10.1126/science.1234702

Senin, 07 Oktober 2013

Salju Himalaya akan Mengerut Hampir 10 Persen, Bahkan Jika Suhu Tidak Berubah



Selasa, 20 November 2012 - Biarpun hujan, cerah, salju, sebagian salju Himalaya tetap terus mengerut selama bertahun-tahun ke depan.

Laporan oleh professor geologi   Brigham Young University Summer Rupper muncul setelah penelitiannya di Bhutan, sebuah daerah di mata badai muson Himalaya. Diterbitkan dalam  Geophysical Research Letters, temuan paling konservatif Rupper adalah bahkan jika iklim tetap sama, hampir 10 persen glasier Bhutan akan hilang dalam beberapa dekade ke depan. Terlebih lagi, jumlah air yang meleleh dari glasier ini dapat turun hingga 30 persen.
 Rupper mengatakan peningkatan suhu hanya satu hal dibalik melorotnya glasier. Sejumlah faktor iklim seperti angin, kelembaban, presipitasi, dan penguapan dapat mempengaruhi bagaimana glasier berperilaku. Dengan beberapa glasier Bhutan sepanjang 13 mil, ketidakseimbangan daerah ini dapat membuatnya perlu berdekade untuk merespon sepenuhnya.
“Glasier semacam ini telah melihat banyak pemanasan dalam beberapa dekade terakhir yang mereka sedang berusaha kejar sekarang,” jelas Rupper.
Faktanya, laju hujan salju di Bhutan akan berlipat dua untuk menghindari berkurangnya glasier, namun itu skenario yang kecil kemungkinannya karena suhu yang menghangat menyebabkan hujan air bukannya hujan salju. Jika glasier terus kehilangan lebih banyak air dari yang dapat mereka peroleh, kombinasi lebih banyak hujan dan lebih banyak glasier yang meleleh akan meningkatkan kemungkinan banjir – yang dapat merusak desa-desa di sekitarnya.
 “Banyak populasi di dunia ini berada di kaki Himalaya,” kata Rupper. “Banyak kebudayaan dan sejarah akan hilang, bukan hanya bagi Bhutan namun juga Negara tetangganya yang menghadapi resiko ini.”
Untuk menggambarkan kemungkinan kejadian ini, Rupper melakukan penelitiannya satu langkah lebih jauh. Hasilnya menunjukkan jika suhu naik hanya 1 derajat Celsius, glasier Bhutan akan mengerut hingga 25 persen dan air yang meleleh setiap tahun akan turun hingga 65 persen. Dengan iklim yang terus menghangat, prediksi demikian bukan lagi hal yang mustahil, khususnya perlu bertahun-tahun bagi glasier untuk bereaksi pada perubahan.
 Untuk membuat prediksi yang lebih eksak untuk Bhutan, Rupper dan mahasiswa pasca sarjana BYU Landon Burgener dan Josh Maurer bekerjasama dengan para peneliti dari  Columbia University, Lamont-Doherty Earth Observatory, NASA, dan Departemen Layanan Hidro-Meteorologi Bhutan. Bersama, mereka menjelajahi hutan hujan dan lereng kering untuk menjangkau sebagian balok es paling terpencil di dunia. Disana mereka meletakkan stasiun cuaca dan peralatan pengawas glasier yang dapat dipakai untuk mengumpulkan data real-time dalam berbulan dan bertahun-tahun ke depan.
“Perlu tujuh hari hanya untuk mencapai glasier target,” ingat Rupper, yang pulang bulan Oktober. “Bagi tim hewan, pengendara kuda, dan pemandu, wilayah dan ketinggian tersebut adalah jalan hidup, namun aku akui kalau orang barat di kelompok ini sedikit bergerak lambat.”
 Laporan dan penelitian lapangan Rupper adalah salah satu yang pertama memeriksa glasier di Bhutan, dan pemerintah berharap memakai penelitiannya untuk membuat keputusan jangka panjang mengenai sumberdaya air dan ancaman banjir di Negara ini.
 “Mereka dapat secara potensial menemukan gagasan yang lebih baik mengenai dimana harus membentengi rumah atau membangun pembangkit listrik baru,” kata Rupper. “Diharapkan, sains yang baik dapat membawa pada solusi rekayasa yang baik untuk perubahan yang mungkin akan kita saksikan dalam dekade-dekade ke depan.”
Sumber berita:
Referensi jurnal:
Summer Rupper, Joerg M. Schaefer, Landon K. Burgener, Lora S. Koenig, Karma Tsering, Edward R. Cook. Sensitivity and response of Bhutanese glaciers to atmospheric warming. Geophysical Research Letters, 2012; 39 (19) DOI: 10.1029/2012GL053010

Aerosol Gunung Berapi, Bukan Polutan, Meredam Pemanasan Global


 
Sabtu, 2 Maret 2013 - "Implikasi terbesarnya di sini adalah agar para ilmuwan perlu lebih memperhatikan letusan kecil dan sedang gunung berapi saat mencoba memahami perubahan iklim bumi."

Berawal dari upaya mencari petunjuk tentang mengapa bumi tidak mengalami pemanasan pada tingkat yang telah diperkirakan para ilmuwan antara tahun 2000 dan 2010, tim riset dari University of Colorado Boulder kini beralih pada penyebab yang selama ini tersembunyi: puluhan gunung berapi yang memuntahkan sulfur dioksida.
Hasil penelitian mereka pada dasarnya mencabut tudingan bersalah pada negara-negara Asia, termasuk India dan Cina, yang diperkirakan telah meningkatkan emisi sulfur dioksida industri hingga 60 persen dari tahun 2000 hingga 2010 lewat pembakaran batubara, ungkap penulis utama studi Ryan Neely. Sejumlah kecil emisi sulfur dioksida dari permukaan bumi pada akhirnya membumbung naik setinggi 12 hingga 20 mil ke lapisan aerosol stratosfir di atmosfer, tempat di mana reaksi kimia menciptakan asam sulfat dan partikel air yang memantulkan kembali sinar matahari ke luar angkasa, mendinginkan planet ini.
Neely menunjuk beberapa pengamatan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa meningkatnya aerosol di stratosfir sejak tahun 2000 justru mengimbangi 25 persen tingkat pemanasan yang diduga hasil dari pelepasan emisi gas rumah kaca oleh manusia. “Penelitian baru ini menunjukkan bahwa sejumlah emisi dari gunung berapi yang kecil hingga menengah telah memperlambat pemanasan planet ini,” tegas Neely, seorang peneliti dari Cooperative Institute for Research in Environmental Sciences.
Studi yang dipubikasikan secara online dalam jurnal Geophysical Research Letters ini sebagian dilakukan untuk menyelesaikan dua hasil studi sebelumnya yang saling bertentangan mengenai asal usul sulfur dioksida di stratosfer. Salah satunya studi tahun 2009 yang dipimpin Hoffman David dari NOAA, yang menunjukkan bahwa peningkatan aerosol di stratosfer mungkin berasal dari meningkatnya emisi sulfur dioksida di India dan Cina. Sebaliknya, studi tahun 2011 yang dipimpin Vernier menunjukkan bahwa letusan gunung berapi berperan dalam meningkatkan partikulat tersebut di stratosfer.
Studi baru ini juga didasarkan pada studi tahun 2011 yang dipimpin Salomo, yang menunjukkan bahwa aerosol di stratosfer meredam sekitar seperempat dari pemanasan efek rumah kaca di bumi selama dekade terakhir.
Studi baru ini bergantung pada pengukuran jangka panjang perubahan “kedalaman optik” lapisan anaerosol di stratosfir, dengan mengukur tingkat transparansinya, kata Neely. Sejak tahun 2000, kedalaman optik di lapisan aerosol stratosfir telah meningkat sekitar 4 hingga 7 persen, yang berarti sedikit lebih buram sekarang dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Implikasi terbesarnya di sini adalah agar para ilmuwan perlu lebih memperhatikan letusan kecil dan sedang gunung berapi saat mencoba memahami perubahan iklim bumi,” saran Brian Toon dari Departemen Ilmu Atmosfer dan Kelautan University of Colorado, Boulder, “Namun secara keseluruhan, letusan-letusan ini tidak akan menangkal efek rumah kaca. Emisi gas vulkanik bersifat naik dan turun, membantu mendinginkan atau memanaskan planet ini, sementara emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia terus meningkat.”
Kunci dari hasil studi ini mengkombinasikan penggunaan dua model komputer yang canggih. Salah satunya Whole Atmosphere Community Climate Model (WACCM) Versi 3, yang dikembangkan oleh NCAR dan yang secara luas digunakan di seluruh dunia oleh para ilmuwan untuk mempelajari atmosfer. Tim riset memasangkan WACCM dengan model kedua, Community Aerosol and Radiation Model for Atmosphere (CARMA), yang telah dikembangkan oleh tim riset di bawah pimpinan Toon dalam beberapa dekade ini, dan memungkinkan para peneliti mengkalkulasi properti aerosol tertentu.
Tim riset menggunakan superkomputer Janus di kampus untuk menjalankan tujuh unit komputer sekaligus, masing-masing komputer mensimulasikan aktivitas 10 tahun atmosfer terkait dengan pembakaran batubara di Asia maupun emisi gunung berapi di seluruh dunia. Masing-masing pengoperasian memakan waktu sekitar seminggu, setara dengan waktu yang bisa dicapai dengan komputer yang menggunakan 192 prosesor, memungkinkan tim untuk memisahkan antara polusi batubara dari Asia dan kontribusi aerosol dari letusan kecil gunung berapi di seluruh dunia.
Para ilmuwan mengatakan bahwa set data iklim 10 tahun yang dikumpulkan untuk studi ini tidak cukup lama untuk bisa menentukan tren perubahan iklim. “Makalah ini membahas soal relevansi langsung dengan pemahaman kita tentang dampak manusia terhadap iklim,” jelas Neely, “Ini pastinya menarik bagi mereka yang mempelajari sumber variabilitas iklim 10-tahunan, dampak global dari polusi lokal dan peran gunung berapi.”
Jika letusan kecil dan menengah gunung berapi menutupi sebagian pemanasan akibat ulah manusia, maka letusan yang lebih besar dapat berefek jauh lebih besar, ungkap Toon. Sewaktu Gunung Pinatubo di Filipina meletus tahun 1991, jutaan ton sulfur dioksida yang terpancar ke atmosfer sedikit mendinginkan bumi selama beberapa tahun ke depan.
Kredit: University of Colorado at Boulder
Jurnal: R. R. Neely, O. B. Toon, S. Solomon, J. P. Vernier, C. Alvarez, J. M. English, K. H. Rosenlof, M. J. Mills, C. G. Bardeen, J. S. Daniel, J. P. Thayer. Recent anthropogenic increases in SO2from Asia have minimal impact on stratospheric aerosol. Geophysical Research Letters, 2013; DOI: 10.1002/grl.50263

Salam Sejahtera


Selamat datang di blog ku ini ya....
08.54 WIB and 2013/10/8  is timing and dating my blog born.
Mengapa blog ini jao (sinonim saya/aku/gw/beta/I... bahasa daerah gitu...hehehehehehe) namai "Born from Nothing" karena semuanya yang ada, akan ada, hampir hilang dan hilang lahir dari ketiadaan.

Sebelum, jao lupa..jao panjatkan syukur kepada-NYA karena atas berkat dan campur tangan-NYA, jao bisa bisa ada sedikit ide untuk membuat blog ini....Thank's GOD.....

I hope....dengan adanya blog ini, kita dapat saling bertegur sapa, berbagi suka dan duka, berbagi ilmu, berbagi canda, berbagi opini, dan intinya bisa membuat kita sama-sama tersenyum ketika ada terangnya sinar dari komentar-komentar brotha dan sista.

Caranya kita tinggal masuk di blog ini lalu tinggalkan komentar di tempat yang sudah disediakan. Siapa saja boleh mengisinya.

Dalam blog ini, jao akan menyajikan berita-berita, cerita-cerita, lagu, photo, video, dokumen soal dan penyelesaian serta masih banyak lagi. Kiranya dapat membantu dan membuat "kamu" tersenyum.
Jao menyadari bahwa blog ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun jao harapkan dari anda guna perbaikan selanjutnya.

Thanks, jika sudah masuk dan jangan lupa datang lagi ya....hehehehehehehe....

Damai bersertamu "all brotha and sista" forever..