Salju Himalaya akan Mengerut Hampir 10 Persen, Bahkan Jika Suhu Tidak Berubah
Selasa, 20 November 2012 - Biarpun hujan, cerah, salju, sebagian salju Himalaya tetap terus mengerut selama bertahun-tahun ke depan.
Laporan
 oleh professor geologi   Brigham Young University Summer Rupper muncul 
setelah penelitiannya di Bhutan, sebuah daerah di mata badai muson Himalaya. Diterbitkan dalam  Geophysical Research Letters,
 temuan paling konservatif Rupper adalah bahkan jika iklim tetap sama, 
hampir 10 persen glasier Bhutan akan hilang dalam beberapa dekade ke 
depan. Terlebih lagi, jumlah air yang meleleh dari glasier ini dapat 
turun hingga 30 persen.
 Rupper 
mengatakan peningkatan suhu hanya satu hal dibalik melorotnya glasier. 
Sejumlah faktor iklim seperti angin, kelembaban, presipitasi, dan 
penguapan dapat mempengaruhi bagaimana glasier berperilaku. Dengan 
beberapa glasier Bhutan sepanjang 13 mil, ketidakseimbangan daerah ini 
dapat membuatnya perlu berdekade untuk merespon sepenuhnya.
“Glasier
 semacam ini telah melihat banyak pemanasan dalam beberapa dekade 
terakhir yang mereka sedang berusaha kejar sekarang,” jelas Rupper.
Faktanya,
 laju hujan salju di Bhutan akan berlipat dua untuk menghindari 
berkurangnya glasier, namun itu skenario yang kecil kemungkinannya 
karena suhu yang menghangat menyebabkan hujan air bukannya hujan salju. 
Jika glasier terus kehilangan lebih banyak air dari yang dapat mereka 
peroleh, kombinasi lebih banyak hujan dan lebih banyak glasier yang 
meleleh akan meningkatkan kemungkinan banjir – yang dapat merusak 
desa-desa di sekitarnya.
 “Banyak 
populasi di dunia ini berada di kaki Himalaya,” kata Rupper. “Banyak 
kebudayaan dan sejarah akan hilang, bukan hanya bagi Bhutan namun juga 
Negara tetangganya yang menghadapi resiko ini.”
Untuk
 menggambarkan kemungkinan kejadian ini, Rupper melakukan penelitiannya 
satu langkah lebih jauh. Hasilnya menunjukkan jika suhu naik hanya 1 
derajat Celsius, glasier Bhutan akan mengerut hingga 25 persen dan air 
yang meleleh setiap tahun akan turun hingga 65 persen. Dengan iklim yang
 terus menghangat, prediksi demikian bukan lagi hal yang mustahil, 
khususnya perlu bertahun-tahun bagi glasier untuk bereaksi pada 
perubahan.
 Untuk membuat prediksi 
yang lebih eksak untuk Bhutan, Rupper dan mahasiswa pasca sarjana BYU 
Landon Burgener dan Josh Maurer bekerjasama dengan para peneliti dari  
Columbia University, Lamont-Doherty Earth Observatory, NASA, dan 
Departemen Layanan Hidro-Meteorologi Bhutan. Bersama, mereka menjelajahi
 hutan hujan dan lereng kering untuk menjangkau sebagian balok es paling
 terpencil di dunia. Disana mereka meletakkan stasiun cuaca dan 
peralatan pengawas glasier yang dapat dipakai untuk mengumpulkan data 
real-time dalam berbulan dan bertahun-tahun ke depan.
“Perlu
 tujuh hari hanya untuk mencapai glasier target,” ingat Rupper, yang 
pulang bulan Oktober. “Bagi tim hewan, pengendara kuda, dan pemandu, 
wilayah dan ketinggian tersebut adalah jalan hidup, namun aku akui kalau
 orang barat di kelompok ini sedikit bergerak lambat.”
 Laporan
 dan penelitian lapangan Rupper adalah salah satu yang pertama memeriksa
 glasier di Bhutan, dan pemerintah berharap memakai penelitiannya untuk 
membuat keputusan jangka panjang mengenai sumberdaya air dan ancaman 
banjir di Negara ini.
 “Mereka dapat 
secara potensial menemukan gagasan yang lebih baik mengenai dimana harus
 membentengi rumah atau membangun pembangkit listrik baru,” kata Rupper.
 “Diharapkan, sains yang baik dapat membawa pada solusi rekayasa yang 
baik untuk perubahan yang mungkin akan kita saksikan dalam dekade-dekade
 ke depan.”
Sumber berita:
Referensi jurnal:
Summer Rupper, Joerg M. Schaefer, Landon K. Burgener, Lora S. Koenig, Karma Tsering, Edward R. Cook. Sensitivity and response of Bhutanese glaciers to atmospheric warming. Geophysical Research Letters, 2012; 39 (19) DOI: 10.1029/2012GL053010
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar