Senin, 07 Oktober 2013

Salju Himalaya akan Mengerut Hampir 10 Persen, Bahkan Jika Suhu Tidak Berubah



Selasa, 20 November 2012 - Biarpun hujan, cerah, salju, sebagian salju Himalaya tetap terus mengerut selama bertahun-tahun ke depan.

Laporan oleh professor geologi   Brigham Young University Summer Rupper muncul setelah penelitiannya di Bhutan, sebuah daerah di mata badai muson Himalaya. Diterbitkan dalam  Geophysical Research Letters, temuan paling konservatif Rupper adalah bahkan jika iklim tetap sama, hampir 10 persen glasier Bhutan akan hilang dalam beberapa dekade ke depan. Terlebih lagi, jumlah air yang meleleh dari glasier ini dapat turun hingga 30 persen.
 Rupper mengatakan peningkatan suhu hanya satu hal dibalik melorotnya glasier. Sejumlah faktor iklim seperti angin, kelembaban, presipitasi, dan penguapan dapat mempengaruhi bagaimana glasier berperilaku. Dengan beberapa glasier Bhutan sepanjang 13 mil, ketidakseimbangan daerah ini dapat membuatnya perlu berdekade untuk merespon sepenuhnya.
“Glasier semacam ini telah melihat banyak pemanasan dalam beberapa dekade terakhir yang mereka sedang berusaha kejar sekarang,” jelas Rupper.
Faktanya, laju hujan salju di Bhutan akan berlipat dua untuk menghindari berkurangnya glasier, namun itu skenario yang kecil kemungkinannya karena suhu yang menghangat menyebabkan hujan air bukannya hujan salju. Jika glasier terus kehilangan lebih banyak air dari yang dapat mereka peroleh, kombinasi lebih banyak hujan dan lebih banyak glasier yang meleleh akan meningkatkan kemungkinan banjir – yang dapat merusak desa-desa di sekitarnya.
 “Banyak populasi di dunia ini berada di kaki Himalaya,” kata Rupper. “Banyak kebudayaan dan sejarah akan hilang, bukan hanya bagi Bhutan namun juga Negara tetangganya yang menghadapi resiko ini.”
Untuk menggambarkan kemungkinan kejadian ini, Rupper melakukan penelitiannya satu langkah lebih jauh. Hasilnya menunjukkan jika suhu naik hanya 1 derajat Celsius, glasier Bhutan akan mengerut hingga 25 persen dan air yang meleleh setiap tahun akan turun hingga 65 persen. Dengan iklim yang terus menghangat, prediksi demikian bukan lagi hal yang mustahil, khususnya perlu bertahun-tahun bagi glasier untuk bereaksi pada perubahan.
 Untuk membuat prediksi yang lebih eksak untuk Bhutan, Rupper dan mahasiswa pasca sarjana BYU Landon Burgener dan Josh Maurer bekerjasama dengan para peneliti dari  Columbia University, Lamont-Doherty Earth Observatory, NASA, dan Departemen Layanan Hidro-Meteorologi Bhutan. Bersama, mereka menjelajahi hutan hujan dan lereng kering untuk menjangkau sebagian balok es paling terpencil di dunia. Disana mereka meletakkan stasiun cuaca dan peralatan pengawas glasier yang dapat dipakai untuk mengumpulkan data real-time dalam berbulan dan bertahun-tahun ke depan.
“Perlu tujuh hari hanya untuk mencapai glasier target,” ingat Rupper, yang pulang bulan Oktober. “Bagi tim hewan, pengendara kuda, dan pemandu, wilayah dan ketinggian tersebut adalah jalan hidup, namun aku akui kalau orang barat di kelompok ini sedikit bergerak lambat.”
 Laporan dan penelitian lapangan Rupper adalah salah satu yang pertama memeriksa glasier di Bhutan, dan pemerintah berharap memakai penelitiannya untuk membuat keputusan jangka panjang mengenai sumberdaya air dan ancaman banjir di Negara ini.
 “Mereka dapat secara potensial menemukan gagasan yang lebih baik mengenai dimana harus membentengi rumah atau membangun pembangkit listrik baru,” kata Rupper. “Diharapkan, sains yang baik dapat membawa pada solusi rekayasa yang baik untuk perubahan yang mungkin akan kita saksikan dalam dekade-dekade ke depan.”
Sumber berita:
Referensi jurnal:
Summer Rupper, Joerg M. Schaefer, Landon K. Burgener, Lora S. Koenig, Karma Tsering, Edward R. Cook. Sensitivity and response of Bhutanese glaciers to atmospheric warming. Geophysical Research Letters, 2012; 39 (19) DOI: 10.1029/2012GL053010

Aerosol Gunung Berapi, Bukan Polutan, Meredam Pemanasan Global


 
Sabtu, 2 Maret 2013 - "Implikasi terbesarnya di sini adalah agar para ilmuwan perlu lebih memperhatikan letusan kecil dan sedang gunung berapi saat mencoba memahami perubahan iklim bumi."

Berawal dari upaya mencari petunjuk tentang mengapa bumi tidak mengalami pemanasan pada tingkat yang telah diperkirakan para ilmuwan antara tahun 2000 dan 2010, tim riset dari University of Colorado Boulder kini beralih pada penyebab yang selama ini tersembunyi: puluhan gunung berapi yang memuntahkan sulfur dioksida.
Hasil penelitian mereka pada dasarnya mencabut tudingan bersalah pada negara-negara Asia, termasuk India dan Cina, yang diperkirakan telah meningkatkan emisi sulfur dioksida industri hingga 60 persen dari tahun 2000 hingga 2010 lewat pembakaran batubara, ungkap penulis utama studi Ryan Neely. Sejumlah kecil emisi sulfur dioksida dari permukaan bumi pada akhirnya membumbung naik setinggi 12 hingga 20 mil ke lapisan aerosol stratosfir di atmosfer, tempat di mana reaksi kimia menciptakan asam sulfat dan partikel air yang memantulkan kembali sinar matahari ke luar angkasa, mendinginkan planet ini.
Neely menunjuk beberapa pengamatan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa meningkatnya aerosol di stratosfir sejak tahun 2000 justru mengimbangi 25 persen tingkat pemanasan yang diduga hasil dari pelepasan emisi gas rumah kaca oleh manusia. “Penelitian baru ini menunjukkan bahwa sejumlah emisi dari gunung berapi yang kecil hingga menengah telah memperlambat pemanasan planet ini,” tegas Neely, seorang peneliti dari Cooperative Institute for Research in Environmental Sciences.
Studi yang dipubikasikan secara online dalam jurnal Geophysical Research Letters ini sebagian dilakukan untuk menyelesaikan dua hasil studi sebelumnya yang saling bertentangan mengenai asal usul sulfur dioksida di stratosfer. Salah satunya studi tahun 2009 yang dipimpin Hoffman David dari NOAA, yang menunjukkan bahwa peningkatan aerosol di stratosfer mungkin berasal dari meningkatnya emisi sulfur dioksida di India dan Cina. Sebaliknya, studi tahun 2011 yang dipimpin Vernier menunjukkan bahwa letusan gunung berapi berperan dalam meningkatkan partikulat tersebut di stratosfer.
Studi baru ini juga didasarkan pada studi tahun 2011 yang dipimpin Salomo, yang menunjukkan bahwa aerosol di stratosfer meredam sekitar seperempat dari pemanasan efek rumah kaca di bumi selama dekade terakhir.
Studi baru ini bergantung pada pengukuran jangka panjang perubahan “kedalaman optik” lapisan anaerosol di stratosfir, dengan mengukur tingkat transparansinya, kata Neely. Sejak tahun 2000, kedalaman optik di lapisan aerosol stratosfir telah meningkat sekitar 4 hingga 7 persen, yang berarti sedikit lebih buram sekarang dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Implikasi terbesarnya di sini adalah agar para ilmuwan perlu lebih memperhatikan letusan kecil dan sedang gunung berapi saat mencoba memahami perubahan iklim bumi,” saran Brian Toon dari Departemen Ilmu Atmosfer dan Kelautan University of Colorado, Boulder, “Namun secara keseluruhan, letusan-letusan ini tidak akan menangkal efek rumah kaca. Emisi gas vulkanik bersifat naik dan turun, membantu mendinginkan atau memanaskan planet ini, sementara emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia terus meningkat.”
Kunci dari hasil studi ini mengkombinasikan penggunaan dua model komputer yang canggih. Salah satunya Whole Atmosphere Community Climate Model (WACCM) Versi 3, yang dikembangkan oleh NCAR dan yang secara luas digunakan di seluruh dunia oleh para ilmuwan untuk mempelajari atmosfer. Tim riset memasangkan WACCM dengan model kedua, Community Aerosol and Radiation Model for Atmosphere (CARMA), yang telah dikembangkan oleh tim riset di bawah pimpinan Toon dalam beberapa dekade ini, dan memungkinkan para peneliti mengkalkulasi properti aerosol tertentu.
Tim riset menggunakan superkomputer Janus di kampus untuk menjalankan tujuh unit komputer sekaligus, masing-masing komputer mensimulasikan aktivitas 10 tahun atmosfer terkait dengan pembakaran batubara di Asia maupun emisi gunung berapi di seluruh dunia. Masing-masing pengoperasian memakan waktu sekitar seminggu, setara dengan waktu yang bisa dicapai dengan komputer yang menggunakan 192 prosesor, memungkinkan tim untuk memisahkan antara polusi batubara dari Asia dan kontribusi aerosol dari letusan kecil gunung berapi di seluruh dunia.
Para ilmuwan mengatakan bahwa set data iklim 10 tahun yang dikumpulkan untuk studi ini tidak cukup lama untuk bisa menentukan tren perubahan iklim. “Makalah ini membahas soal relevansi langsung dengan pemahaman kita tentang dampak manusia terhadap iklim,” jelas Neely, “Ini pastinya menarik bagi mereka yang mempelajari sumber variabilitas iklim 10-tahunan, dampak global dari polusi lokal dan peran gunung berapi.”
Jika letusan kecil dan menengah gunung berapi menutupi sebagian pemanasan akibat ulah manusia, maka letusan yang lebih besar dapat berefek jauh lebih besar, ungkap Toon. Sewaktu Gunung Pinatubo di Filipina meletus tahun 1991, jutaan ton sulfur dioksida yang terpancar ke atmosfer sedikit mendinginkan bumi selama beberapa tahun ke depan.
Kredit: University of Colorado at Boulder
Jurnal: R. R. Neely, O. B. Toon, S. Solomon, J. P. Vernier, C. Alvarez, J. M. English, K. H. Rosenlof, M. J. Mills, C. G. Bardeen, J. S. Daniel, J. P. Thayer. Recent anthropogenic increases in SO2from Asia have minimal impact on stratospheric aerosol. Geophysical Research Letters, 2013; DOI: 10.1002/grl.50263

Salam Sejahtera


Selamat datang di blog ku ini ya....
08.54 WIB and 2013/10/8  is timing and dating my blog born.
Mengapa blog ini jao (sinonim saya/aku/gw/beta/I... bahasa daerah gitu...hehehehehehe) namai "Born from Nothing" karena semuanya yang ada, akan ada, hampir hilang dan hilang lahir dari ketiadaan.

Sebelum, jao lupa..jao panjatkan syukur kepada-NYA karena atas berkat dan campur tangan-NYA, jao bisa bisa ada sedikit ide untuk membuat blog ini....Thank's GOD.....

I hope....dengan adanya blog ini, kita dapat saling bertegur sapa, berbagi suka dan duka, berbagi ilmu, berbagi canda, berbagi opini, dan intinya bisa membuat kita sama-sama tersenyum ketika ada terangnya sinar dari komentar-komentar brotha dan sista.

Caranya kita tinggal masuk di blog ini lalu tinggalkan komentar di tempat yang sudah disediakan. Siapa saja boleh mengisinya.

Dalam blog ini, jao akan menyajikan berita-berita, cerita-cerita, lagu, photo, video, dokumen soal dan penyelesaian serta masih banyak lagi. Kiranya dapat membantu dan membuat "kamu" tersenyum.
Jao menyadari bahwa blog ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun jao harapkan dari anda guna perbaikan selanjutnya.

Thanks, jika sudah masuk dan jangan lupa datang lagi ya....hehehehehehehe....

Damai bersertamu "all brotha and sista" forever..